Saturday, 10 October 2015
Bukan Maksud Cinta
Di sebuah sore, aku mengalami sebuah situasi yang sangat jarang terjadi. Sebenarnya, aku sangat jarang berbicara dengan Ibu, apalagi untuk masalah yang satu ini. Aku tiba-tiba bertanya pada Ibu mengenai Cinta.
"Bu, aku bingung dengan masalah cinta. Sebenarnya apa maksud Cinta sehingga membuat aku untuk kesekian kalinya patah hati?" tanyaku pada Ibu. Dimulai dengan senyum manis, Ibu kemudian mulai bicara padaku.
"Nak, maksud dari cinta bukanlah seperti ini:
1. Membuat kamu sakit hati saat menerima kenyataan bahwa dia (pria/wanita) yang kau cintai tidak mencintai dirimu (bertepuk sebelah tangan).
Adalah wajar bagi setiap orang untuk mencintai dan memberikan cintanya kepada siapa saja. Untuk itu, janganlah memaksa dirinya untuk mencintaimu. Jika dia benar mencintaimu, dia tidak akan mencintai orang lain.
2. Membuat kamu gundah gulana.
Cinta membuat kamu teguh. Ia tidak akan menyakitimu walau hanya sekedar membuatmu bimbang dan putus asa. Maksud dari Cinta adalah datang untuk menguatkan kamu.
3. Membuat kamu terluka saat mengetahui bahwa waktunya belum tepat. Cinta bermaksud untuk menyatukan dua orang yang tepat di saat yang tepat juga. Cinta bermaksud mendewasakan kamu agar ketika waktu yang tepat tiba, orang yang tepat tidak kau lewatkan.
Ingat nak, cinta tidak pernah bermaksud untuk mencelakakan kamu. Cinta yang tulus akan membuatmu tumbuh menjadi pribadi yang dicintai dan mampu mencintai dengan sepenuh hati. Jika kini kamu masih memiliki masalah dalam percintaan, percayalah ini adalah sebuah proses yang menuntun kamu menuju maksud cinta yang sesungguhnya. Cinta tidak akan tega melukai kamu tapi cinta akan dengan senang hati mengajarkan kamu banyak hal mengenai orang yang telah dipersiapkan cinta untuk kau cintai.
Wednesday, 22 July 2015
Halo Peri Dol
“Walaupun hari ini jalan
tol lagi lengang, tolong jangan ngebut Ran.” Ujarku pada Randy dengan suara
yang gemetar sambil mengusap pundaknya menenangkan.
“Kita hampir terlambat,
Ri. Acara pernikahan Joe sudah hampir selesai. Kamu tahu, gara-gara jemput kamu
kita bisa-bisa tidak bisa menghadiri acara itu.” Bentak Randy padaku sambil
menginjak pedal gasnya melaju ke tol Kebon Jeruk.
Aku tercekat. Wajahku
pucat pasi. Jantungku berdebar-debar namun aku berusaha untuk berlagak biasa
saja. Aku memandang Randy yang dengan santai menyetir seakan yang dilakukannya
bukanlah sesuatu yang berbahaya. Jarum pada speedometer saat itu mengarah pada
angka 120km/jam. Mobil yang aku tumpangi melesat dengan sangat cepat. Sungguh,
saat itu aku seperti berada di samping Dom Toretto dan bukan Randy. Drive or Die, itulah yang aku ingat. Aku
pasrah karena tidak mungkin bagiku untuk memintanya menurunkanku di tengah
jalan tol.
Aku berupaya untuk
memahaminya karena ia sempat menuturkan bahwa ia tidak rutin meminum Haloperidol (obat penenang untuk gangguan psikotik). Aku tahu, episodenya sedang dimulai. Jelas sekali tergambar dari
wajah Randy yang tidak seperti biasanya, bibirnya yang kering dan keringat yang
bercucuran. Saat menyetir, Randy berkali-kali berbicara dengan sangat random. Musik dalam mobil diputar
sekencang-kencangnya, dan ia bernyanyi sambil berteriak.
Tiga bulan yang lalu saat
liburan semester genap, Randy dan aku berhubungan sangat dekat. Ia sering
curhat padaku mengenai obsesinya untuk melanjutkan studi di Harvard. Belakangan
ini, intensitas Randy untuk curhat padaku meningkat. Ia tahu bahwa aku adalah
seorang mahasiswa keperawatan yang sangat menyukai masalah psikologi dan
kejiwaan, maka ia bermaksud untuk menceritakan hal yang ia alami. Ia beberapa
malam terakhir mengalami mimpi buruk. Beberapa kali mendengar suara yang
mengatakan bahwa ada orang lain yang membicarakan hal buruk tentangnya.
Gangguan mental
Skizofrenia, itulah vonis yang dijatuhkan oleh dokter terhadap Randy. Skizofrenia
adalah gangguan jiwa kompleks yang membuat seseorang mengalami kesulitan dalam
proses berpikir. Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh Skizofrenia berupa
halusinasi dan delusi, serta gejala psikotik.
Mengetahui bahwa Randy
mengalami Skizofrenia, aku hanya bisa menangis dalam hati. Aku berupaya untuk
dengan sangat profesional menghadapinya. Memaklumi keadaannya adalah satu-satunya
cara yang membuatku tetap bertahan disampingnya. We all are a little broken,
right? Then it’s okay to stay with Schizophrenic client.
“Ingat Ri, kamu adalah
perawatnya Randy.” Gumamku dalam hati. Menyadari bahwa ada sebuah etika medis yang menuliskan batasan yang jelas antara
pasien dengan perawatnya membuat aku sadar bahwa kedekatanku dengannya harus
memiliki batasan yang jelas pula. Aku
harus melanjutkan hidupku untuk membantu Randy agar bisa berfungsi sebagai mana
mestinya. Walaupun tahu bahwa gangguan ini hanya bisa dikontrol dan bukan
disembuhkan, aku yakin ia bisa melewati masa-masa sulit ini.
Beberapa kali aku
mengunjungi Randy pasca kejadian di tol kebun jeruk itu. Setiap kali aku
melakukan kunjungan, tatapan matanya selalu kosong. Tidak fokus. Ia berbicara
singkat dan kacau. Ada banyak hal yang tersembunyi dibalik sorot matanya dan
kata-kata yang random itu.
“Halo Ran.. aku datang
hari ini. Bagaimana kabarmu? Sapaku pada Randy disambut keheningan. Hal yang
sama berlangsung selama hampir 10 kali kunjunganku. Hingga suatu saat..
“Ran, aku pulang yah. Aku
akan mengunjungimu kembali besok.” Nadaku menyerah
“Ri..” Randy pun mulai
bicara. “Apakah aku semakin terlihat aneh karena penyakit ini? Apakah masih ada
yang peduli terhadapku? Aku capek meminum Haloperidol, Ri. Itu membuatku lemah
dan mengantuk.” Tandasnya.
Aku duduk mendekat dan
membelai rambutnya. “Ran, you are still
you. That illness doesn’t change who you are.” Jawabku pelan. “Even no one
cares about you, remember you and I do. Obat itu akan membantu meringankan
gejalamu, Ran. Bersabarlah sebentar saja..” Tangisan Randy menghentikan
kata-kataku. Aku hanya bisa memeluk Randy erat. “Cause tears are words that ears can’t heard and the mouth can’t say. Menangislah
Ran, tidak-apa-apa.
Setelah dari kunjungan
itu, aku tidak sempat mengunjunginya lagi selama hampir 2 minggu karena jadwal
penelitianku yang padat. Aku memutuskan untuk mengunjunginya usai penelitian
hari ini.
Namun, sebelum beranjak untuk pergi ke rumah Randy, aku menerima
sebuah chatting darinya:
“ Ry, Nothing is more serious than having such this mental illness. The
scariest part is realizing that I have lost myself. I can’t even cry or even
care of myself. Tapi, semenjak kunjunganmu dengan kata sederhana bernama
“halo”, dan setiap penyemangatanmu layaknya seorang peri tanpa sayap dengan wajahmu seperti
doll (boneka) yang meenenangkan dan menyadarkanku bahwa tidak ada yang mampu mengerti dirku
selain aku sendiri, aku bertekad sembuh. I
know the physicians and patient’s borderline, but I still thank you for being
my haloperidol. Terima kasih sudah menjadi obat penenang bagiku.
Cause mentall illness is not a choice, but
recovery is. So, aku sekarang
sedang mengudara menuju Sydney. Aku akan melanjutkan pengobatan disana. Doakan
aku untuk bisa seperti sedia kala ya.
Sahabatmu dan yang
mencintaimu.
Randy”
Begitulah aku dan Randy
berakhir. Aku tetap melanjutkan kuliahku dan Randy masih di Sydney. Sekarang,
aku sudah meraih gelar sarjana dan melanjutkan studiku di bidang keperawatan
mental. Kabar yang aku dapatkan tentang Randy, ia sedang melanjutkan kuliahnya
di Sydney sambil melanjutkan terapinya. Mendengar bahwa ia sudah bisa melakukan
interaksi dengan lingkungan di sekitarnya merupakan sebuah kebahagiaan untukku.
Penerimaan lingkungan sosial atas seseorang yang mengalami penyakit mental
adalah hal yang berpengaruh terhadap kehidupan.
“People who have mentall illness is still a person
who has thought’s and feelings just like everyone else. Accept them as who they
are.”
Friday, 3 July 2015
Till We Meet Again
Pagi kali ini indah
sekali. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, aku beranjak dari tempat tidur
dengan mata berbinar secerah mentari. Angin sepoi-sepoi yang berhembus lewat
jendela yang aku buka seakan mengajaku bercanda. Aku melemparkan senyum dan
balik menyapa sang angin seakan dia mengerti akan senyumku. Aku mulai bernyanyi
bersaut-sautan dengan beberapa ekor burung pipit yang hinggap di ranting pohon
samping jendela.
Jika saja hari ini hujan,
angin bertiup kencang disertai petir yang menyambar, maka akan lengkaplah
penderitaanku. Hari ini adalah hari terakhir bagiku untuk bekerja sebagai
part-timer di kampus. Aku memilih resign dari kantor marketing bebrapa minggu
lebih awal mengingat waktu untuk menjalankan profesi yang sudah semakin dekat. Meninggalkan
kantor marketing ini merupakan hal yang mudah saja aku lakukan, namun sulit
bagiku untuk meninggalkan setiap pribadi mereka yang ada di tim marketing ini.
Ah, aku tidak mau
berkutat dengan perasaan mellow ini. Aku menyemangati diri agar bisa memberikan
yang terbaik di hari terakhirku bekerja. “Ayo, Ruth, kamu harus semangat!” gumamku
dalam hati.
Aku langkahkan kakiku dan
menyusuri halaman kampus. Terhampar hamparan rumput hijau dihiasi pepohonan
rindang yang menyelimutiku agar sang mentari tidak menembus kulit. Ku jumpai
ada beberapa tukang kebun kampus dan kemudian menyapa mereka. Sapaanku disambut
dengan senyum hangat dari ibu-ibu tukang kebun yang sedang menyapu. Senyum
hangat mereka mendaamaikan hatiku.
“Staff Only”. Itulah tulisan pertama yang aku lihat dari pintu luar
untuk memasuki ruangan admission call
center. 6 Bulan sudah aku berada di sana. Dan, yap.. Beberapa jam lagi aku
tidak akan berada di ruang itu. Aku terdiam sebentar dan kemudian masuk ke ruangan
itu. Aku melihat ada “anggota keluargaku” di dalam ruangan itu. Terasa sangat
hangat mereka menyapaku saat ini.
“Ruth, hari ini hari
terakhirmu disini ya nak? Hikshiks” Ujar Bu Elsa (Kasubbag Admission Call
Center) dengan wajahnya yang sedih namun tetap cantik
“Waah iya ya Ruth kamu
udah ga kerja disini lagi ya nanti? Will miss you” tambah Kak Rilly, Staff yang
sering di-bully oleh seluruh part timer.
Pertanyaan-pertanyaan
yang sama pun mulai dilontarkan oleh mereka semua yang ada disitu. Mereka mulai
mengelilingiku dan mulai menjabat tanganku satu per satu. Aku tak kuasa menahan
haru, namun tak kutumpahkan pula dalam bentuk tangis. “Terlalu konyol bagi Ruth
untuk menangis di kantor” piikirku dalam hati.
Bu Elsa menambahkan dengan
nada bicaranya yang lucu “Yaah, setelah ini udah gaada seru-seruan dong. Ruth resign hari
ini, minggu depan dua Fankhui ini (Olla sama Noel) juga udah ga bakal masuk.
Sedih niiih.” Satu ruangan pun terkekeh. Tertawa tiada hentinya. Maklum, part-timer
yang ada di Admission Call Center kebanyakan adalah fresh graduate dari jurusan
Keperawatan yang terkenal dengan “ke-gokil-an”. Kami sebentar lagi akan masuk
dunia profesi (kalo bahasa beken kedokterannya Co-assistance/Koas) yang tidak
mengenal kata istirahat.
Dari luar ruangan,
terlihat Dennis dan Ko Lucky berjalan mengarah ke ruangan kami.
“Uthee, farewell ya? Gw mau fotoan sama lu doong..” Sahut Dennis girang. Entahlah dia sebenarnya mau berfoto dalam rangka ingin mengabadikan momen ini atau karena dia nge-fans sama aku (hihi peace Den :P ).
“Uthee, farewell ya? Gw mau fotoan sama lu doong..” Sahut Dennis girang. Entahlah dia sebenarnya mau berfoto dalam rangka ingin mengabadikan momen ini atau karena dia nge-fans sama aku (hihi peace Den :P ).
Joey dengan aksen “Britishnya”
pun tidak mau kalah memberikan komentar “Ruth, I shou’ tek pi’cer with ya tuu.”
Kira-kira begitulah aksennya jika ditulis dalam kata-kata (ampun Joey gw
lebay).
Sahutan Dennis dan komentar Joey pun memecahkan suasana hatiku yang hampir mellow saat itu diikuti dengan tawa girang oleh semua orang di ruangan itu. Akhirnya semuanya berbaur dan menyetujui ide Dennis. Kami pun melakukan foto bersama.
Sahutan Dennis dan komentar Joey pun memecahkan suasana hatiku yang hampir mellow saat itu diikuti dengan tawa girang oleh semua orang di ruangan itu. Akhirnya semuanya berbaur dan menyetujui ide Dennis. Kami pun melakukan foto bersama.
Inilah beberapa gambar
yang sempat diabadikan siang tadi.
Hasilnya....
Till we meet again..
Wednesday, 17 June 2015
Sent me out
Mentari yang ditemani
sang awan putih diatas langit biru datang menyapa pagi hariku pada empat tahun
yang lalu. Tepatnya tanggal 14 Mei 2011, pada seorang guru Bahasa Indonesia membahas
mengenai apa yang menjadi cita-cita dan tujuan kami kedepannya. Mengingat dunia
perkuliahan yang sudah di depan mata, aku yang sedang duduk di kelas XII sudah
harus memutuskan kemana aku akan berkuliah dan apa yang akan aku lakukan
kedepannya.
Aku ingat persis, ketika
tiba giliranku untuk menjawab aku sempat terdiam sejenak untuk mengungkapkan
apa yang menjadi pemikiranku. Niki, teman sebelah bangku mencolek agar aku bisa
meneruskan pembicaraan. “Aku ingin melanjutkan pendidikan di dunia kesehatan
dan nantinya ingin bekerja sebagai relawan kesehatan” itu jawabku kepada sang
guru. Seketika seisi kelas pun hening. Keringat dingin mulai bercucuran dan aku
mulai berpikir alih-alih teman-temanku akan menertawakan impianku karena
terdengar aneh. Sebenarnya aku sangat takut dengan pernyataan itu, karena aku
sendiripun sebenarnya belum yakin 100% mengenai hal itu. Seorang teman dari
bangku belakang kemudian bertepuk tangan diikuti seisi kelas sebagai tanda
dukungan dari mereka.
Waktu pun bergulir, aku
kemudian melanjutkan pendidikan di bagian Keperawatan. Banyak yang menanyakan
kenapa tidak memilih dunia Kedokteran (mungkin agar terlihat kece ataupun
terlihat pintar). Bukan karena beasiswa yang kudapatkan hanya di fakultas
keperawatan saja yang membuatku terpanggil menjadi seorang perawat. Bagiku, menjadi
seorang perawat menuntut segala hal dalam hidup seseorang. Baik itu dari segi
kepintaran, kesabaran, lemah-lembut, penguasaan diri, dan kasih sayang.
Belajar menjadi seorang
perawat sungguh sangat menantang. Sebagai seorang kolerik, hal yang paling
menantang bagiku adalah sabar terhadap orang lain. Tidak hanya sabar terhadap
teman sekelas yang rese’ luarbinasa, tapi belajar sabar terhadap pasien,
keluarga pasien dan kolega di rumah sakit. Ingin rasanya teriak dan melarikan
diri. Beberapa kali juga sempat terpikir untuk berhenti dan merasa panggilan aku
bukan disini. Namun, semakin aku mencoba
untuk berhenti, semakin aku ditarik untuk menjadi seorang perawat.
Panggilan menjadi seorang
perawat aku dapatkan melalui berbagai pengalaman. Yang pertama saat praktikum
di semester empat, saat merawat seorang bapak usia lanjut yang menderita stroke
dan kanker otak. Awalnya hanya berniat untuk melakukan tindakan keperawatan
yang biasa saja, tapi entah kenapa ketika melihat bapak tersebut aku langsung
merawatnya selayaknya aku merawat papih. Walaupun pada akhirnya aku harus
merawat bapak tersebut hingga akhir hidupnya, aku belajar dari sang bapak bagaimana
berserah penuh dan dari istrinya yang sangat setia mendoakan suaminya untuk
tetap semangat.
Yang kedua, ketika sedang berada di kampung
halaman (re: Manado) pada Paskah 2014 yang lalu, aku diajak oleh teman FKPRT
untuk mengikuti baksos di sebuah desa Pisa yang terletak di pelosok kabupaten
Minahasa Tenggara. Akses transportasi ke daerah tersebut hanya bisa dilakukan
menggunakan mobil offroad dan ditempuh sekitar 5 jam dari pusat kota Manado.
Disana, tidak ada listrik sama sekali, tidak ada signal untuk telekomunikasi,
dan tidak ada tempat untuk pelayanan kesehatan. Aku dan beberapa teman yang
kuliah di dunia medis kemudian membuka pengobatan secara gratis. Banyak pasien
yang aku jumpai dan sangat menghargai keberadaan kami pada saat itu. Bahkan,
aku didoakan secara khusus oleh salah satu ibu yang aku rawat saat itu.
Sungguh, bukan hanya perawat yang bisa menyentuh hidup pasiennya, tetapi
berlaku pula hal sebaliknya.
Yang ketiga adalah masa
dimana aku praktikum di RSJ Soeharto
Herdjan. Pengalaman yang tidak terlupakan dimana aku bertemu dengan orang-orang
yang sangat membutuhkan harapan. Banyak sekali ujian iman yang aku hadapi
disana. Mulai dari dicolek-colek salah seorang pasien dengan bipolar,
diteriakin oleh seorang ibu yang menganggap aku adalah musuhnya, dan seorang
ibu yang menyatakan bahwa ia menjadi seperti ini karena merasa tidak dikasihi.
Hati saya kemudian hancur dan perlahan-lahan mulai dibentuk untuk mampu
mengasihi mereka yang membutuhkan kasih. Mereka membutuhkan kasih yang tidak
hanya dalam bentuk materi. Lebih dari itu, mereka butuh kehadiran seseorang
untuk meluangkan waktu bersama mereka.
Pengalaman-pengalaman
tersebut adalah sedikit dari beberapa pengalaman yang aku temui selama kuliah. Kini,
masa perkuliahan yang menguatkan panggilanku menjadi seorang perawat berakhir
sudah. Dunia profesi pun menanti. Masa yang tidak kalah menantang dengan masa
kuliah. Yang aku harapkan nantinya panggilanku akan semakin diperkuat.
“Jika kamu
nanti ditempatkan di rumah sakit X di pulau paling terpencil di Indonesia, bagaimana?”
tanya mamih padaku. Aku dengan singkat dan berani pun menjawab “He will sent me out, so His name would be
known.”
Wednesday, 3 June 2015
Jangan salahkan perasaan
Jangan salahkan perasaan..
Jika tiba-tiba menyayangi dia yang bukan milikmu
Yang menjadi cemburu walaupun bukan hakmu untuk merasakan hal itu
Jika tiba-tiba gembira walau hanya mendapatkan sebuah pesan singkat darinya yang bertuliskan "apa kabar?"
Yang menjadi gelisah ketika tidak mendengar kabar darinya
Karena perasaan hanya timbul
Terhadap seseorang yang membuatnya nyaman
Yang membuat dirinya merasa aman
Yang menghargai keberadaan dirinya.
Namun jangan salahkan jika perasaan lenyap
Ketika ia menyadari bahwa usahanya tidak lagi dihargai
Jika tiba-tiba menyayangi dia yang bukan milikmu
Yang menjadi cemburu walaupun bukan hakmu untuk merasakan hal itu
Jika tiba-tiba gembira walau hanya mendapatkan sebuah pesan singkat darinya yang bertuliskan "apa kabar?"
Yang menjadi gelisah ketika tidak mendengar kabar darinya
Karena perasaan hanya timbul
Terhadap seseorang yang membuatnya nyaman
Yang membuat dirinya merasa aman
Yang menghargai keberadaan dirinya.
Namun jangan salahkan jika perasaan lenyap
Ketika ia menyadari bahwa usahanya tidak lagi dihargai
Labuhan hati
Matahari tahu tempat dimana ia akan terbenam
Bulan tahu kapan ia harus bersinar
Bayi dalam kandungan pun tahu kapan ia harus segera keluar
Begitu pula dengan hati..
Bulan tahu kapan ia harus bersinar
Bayi dalam kandungan pun tahu kapan ia harus segera keluar
Begitu pula dengan hati..
Hati tahu kapan ia merasa sayang
Hati tahu kapan ia merasa tersakiti
Hati tahu kapan ia membohongi diri sendiri
Hati tahu kapan ia tulus
Hati tahu kapan ia merasa tersakiti
Hati tahu kapan ia membohongi diri sendiri
Hati tahu kapan ia tulus
Hati pun tahu siapa yang ia cintai
Walaupun berkali tersakiti dan membohongi diri sendiri
Hati tetap tulus mencintai
Karena yang hati tahu kepada siapa dia akan berlabuh
Labuhan hati ini
adalah kamu.Sunday, 31 May 2015
Kontrol Gaya Hidup menjelang Wisuda
Setelah melewati 3 bulan tanpa tidur yang cukup dan makan yang teratur selama penyusunan skripsi, kali ini saya melakukan "balas dendam". Saya merasa perlu untuk sedikit "menikmati hidup" sebelum tiba sebuah acara kelulusan yang populernya disebut Wisuda. Saat itu, porsi makan bertambah 2 kali lipat, waktu tidur >10jam, dan tentu saja tidak ada sama sekali niat untuk berolahraga.
Saya ingat sekali, waktu itu H-3 bulan sebelum tanggal wisuda. Saya dan beberapa teman sedang memperbincangkan kebaya yang akan dipakai saat wisuda dan timbangan berat badan yang jarum jamnya semakin ke kanan. Perasaan saya pun saat itu sedikit terusik dan mulai mempertimbangkan dalam hati untuk sebaiknya saya pun menimbang berat badan.
Awalnya, saya agak sedikit takut untuk menimbang berat badan di klinik kampus karena takut menerima kenyataan (bahwa berat badan saya naik) namun tetap saya lakukan. Ternyata benar, berat badan saya mencapai 65kg (yang awalnya 57kg). Sejak saat itu saya mulai termotivasi untuk menurunkan berat badan agar terlihat cantik saat memakai kebaya saat wisuda nanti.
Pola diet yang saya terapkan adalah diet rendah karbohidrat, tinggi serat serta protein . Saya juga meluangkan waktu 1.5jam untuk berolahraga ringan (yoga, jogging, treatmil, sit-up). Tidak lupa juga saya minum air mineral >2,5L/hari untuk menghindari dehidrasi. Awalnya gaya hidup tersebut sangat sulit saya lakukan mengingat saya memiliki kebiasaan buruk yaitu ngemil di malam hari. Namun saya bertekad untuk menghentikan kebiasaan tersebut. Saya membatasi jam makan malam saya yaitu pukul 6.00pm. Jika ada godaan untuk ngemil datang, saya menggantinya dengan menyantap sayuran/buah. Gaya hidup tersebut saya lakukan secara continue sampai saat ini. Alhasil, saya berhasil menurunkan 6kg berat badan saya.
Dengan melakukan pengontrolan pola diet seimbang dan mempertahankan pola hidup seperti ini, saya merasakan sendiri keuntungannya. Saya lebih percaya diri dengan bentuk tubuh, saya merasa lebih prima, dan saya juga tidak khawatir dengan kebaya yang akan saya gunakan saat wisuda nanti. Saya akan tetap menerapkan gaya hidup seperti ini seterusnya. Saya merasa bahwa hidup sehat tidak hanya perlu diterapkan saat momen penting akan tiba, tapi gaya hidup sehat harus dilakukan untuk menjamin hidup yang sehat hingga akhir nanti.
#HealthAgent #Nutrifood #Inspiring blog.nutrifood.co.id
Saya ingat sekali, waktu itu H-3 bulan sebelum tanggal wisuda. Saya dan beberapa teman sedang memperbincangkan kebaya yang akan dipakai saat wisuda dan timbangan berat badan yang jarum jamnya semakin ke kanan. Perasaan saya pun saat itu sedikit terusik dan mulai mempertimbangkan dalam hati untuk sebaiknya saya pun menimbang berat badan.
Awalnya, saya agak sedikit takut untuk menimbang berat badan di klinik kampus karena takut menerima kenyataan (bahwa berat badan saya naik) namun tetap saya lakukan. Ternyata benar, berat badan saya mencapai 65kg (yang awalnya 57kg). Sejak saat itu saya mulai termotivasi untuk menurunkan berat badan agar terlihat cantik saat memakai kebaya saat wisuda nanti.
Pola diet yang saya terapkan adalah diet rendah karbohidrat, tinggi serat serta protein . Saya juga meluangkan waktu 1.5jam untuk berolahraga ringan (yoga, jogging, treatmil, sit-up). Tidak lupa juga saya minum air mineral >2,5L/hari untuk menghindari dehidrasi. Awalnya gaya hidup tersebut sangat sulit saya lakukan mengingat saya memiliki kebiasaan buruk yaitu ngemil di malam hari. Namun saya bertekad untuk menghentikan kebiasaan tersebut. Saya membatasi jam makan malam saya yaitu pukul 6.00pm. Jika ada godaan untuk ngemil datang, saya menggantinya dengan menyantap sayuran/buah. Gaya hidup tersebut saya lakukan secara continue sampai saat ini. Alhasil, saya berhasil menurunkan 6kg berat badan saya.
Dengan melakukan pengontrolan pola diet seimbang dan mempertahankan pola hidup seperti ini, saya merasakan sendiri keuntungannya. Saya lebih percaya diri dengan bentuk tubuh, saya merasa lebih prima, dan saya juga tidak khawatir dengan kebaya yang akan saya gunakan saat wisuda nanti. Saya akan tetap menerapkan gaya hidup seperti ini seterusnya. Saya merasa bahwa hidup sehat tidak hanya perlu diterapkan saat momen penting akan tiba, tapi gaya hidup sehat harus dilakukan untuk menjamin hidup yang sehat hingga akhir nanti.
#HealthAgent #Nutrifood #Inspiring blog.nutrifood.co.id
Wednesday, 6 May 2015
So, it's you, Daddy
Untuk seseorang yang
disebut Ayah di sebuah rumah sederhana. Seorang anak yang beranjak dewasa
kemudian menyadarinya..
It's you, Daddy...
Yang bekerja keras demi
keluarganya
Yang bijak dalam
mengambil keputusan demi kebaikan keluarganya
Yang rela menjadi supir
pribadi anggota keluarga kecilnya
Yang memperlakukan
istrinya dengan lembut
Yang mau berbagi ranjang
dengan ibu dari anak-anaknya
yang merawat 1x24 jam
dikala anak-anaknya kurang enak badan
Yang menemani anaknya
mengerjakan tugas hingga larut malam
Yang percaya anaknya
mampu melakukan tindakan “menguji adrenalin”
Yang rela lembur untuk
mendapatkan uang tambahan agar dapat membelikan kado untuk anaknya
Yang mau berbagi makanan
kesukaan dengan anaknya
Yang mau membagi jatah
cuti demi liburan bersama keluarga atau sekedar duduk makan di rumah bersama
Yang memberikan contoh
bagi anak lelakinya untuk mampu memperlakukan saudara/teman perempuannya dengan
sopan
Yang menunjukkan kepada
anak perempuannya bahwa tidak semua lelaki itu sama karena ada satu lelaki yang
mampu mencintai perempuannya dengan lembut seperti dirinya
Yang selalu siaga bagi
anak perempuannya ketika diganggu teman lelaki
Yang tidak lelah untuk
mendoakan keluarganya di sela-sela jam makan siang
Yang rela meminjamkan
bahu bagi semua anggota keluarganya yang sedih
Yang menjadi instruktur
olahraga
Yang berinisiatif untuk
memperbaiki genteng yang bocor, saklar yang rusak, bahkan lampu yang padam
Yang bisa diajak ke toko
buku hanya untuk menemani anak-anak membeli ataupun sekedar membaca buku
Yang memberikan surprise
saat hari spesial
Yang rela disebut “jahat”
oleh anak-anaknya ketika tidak diijinkan untuk melakukan sesuatu yang menurutnya
tidak pantas untuk dilakukan
Yang tidak pernah lupa
mengingatkan “tetaplah kasihi ibumu, walaupun ia sedikit bawel”
Monday, 27 April 2015
Stranger: could be your Friend or Enemy
Saya sangat mengingat salah satu wejangan orang tua yang hingga kini masih saya pegang, yaitu "Jangan coba-coba menerima pemberian oleh seseorang yang baru kamu kenal ataupun yang baru kamu kenal". Wejangan itu hingga detik saya menulis cerita ini masih saya pegang, namun benak saya masih tetap bertanya apakah wejangan tersebut benar adanya?
Setiap hari kita akan bertemu dengan orang-orang yang baru. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa orang yang bertegur sapa dengan kita pertama kali adalah jodoh kita (walaupun probabilitasnya adalah 0,999999%). Saya terkadang menjadi anak yang apatis dan tidak mau membuka diri dengan orang yang baru, tak hayal sering dipanggil sebagai seseorang yang angkuh. Sebutan itu sudah sering saya dengar, jadi saya tidak lagi menghiraukan hal itu.
Demi menjaga diri saya dari seorang yang dinamakan STRANGER, orang tua saya melakukan beberapa cara untuk melindungi saya. Seperti tidak boleh bepergian kemanapun tanpa ada orang tua/keluarga yang menemani, harus ada teman yang sudah lama saya kenal, dan tak jarang pun saya benar-benar tidak diizinkan untuk pergi kemanapun dengan alasan KEAMANAN.
Melihat tingkah laku yang seperti itu, saya mulai prihatin dengan sikap dari orang tua saya. Berbagai cara saya lakukan. Mulai dari mengikuti berbagai perlombaan mulai dari kancah daerah hingga internasional hanya dengan sebuah tujuan: Memiliki banyak teman, mengunjungi banyak tempat dan mengobservasi sendiri maksud dari STRANGER sesungguhnya.
Well, dunia ternyata tidak sesempit apa yang dipikirkan namun tidak sebaik yang dibayangkan. Mengenal orang lain pada awalnya terlihat baik. Memiliki banyak teman terlihat asik. Namun menerima dan mengerti perasaan orang lain itu sulit. Ketika yang ditemukan dari seorang STRANGER sifat baiknya lebih besar daripada sifat buruknya, maka saya akan lebih memilih untuk berteman dengan dia dan berlaku juga sebaliknya. Ketika yang ditemukan pada diri STRANGER adalah sifat buruk, maka saya akan memilih untuk menjauh atau bahkan memusuhinya.
Namun, bagaimana jika bertemu dengan STRANGER di media sosial, dimana kita tidak bisa mengamati keseluruhan sikap dari orang tersebut? apakah wajar jika hanya menilai dari satu segi saja yaitu cerita yang ia beberkan? Tentu kita harus berhati-hati dengan hal itu.
Nilailah seorang stranger dari seluru segi di dalam hidupnya. Kita tidak tahu pasti sejauh mana penilaian orang lain terhadap kita sebagai seorang STRANGER.
Nice guy i let Go
But you weren’t perfect, and neither was I. You made plans and broke them when I was almost done getting ready. You changed your mind to revert back to initial plans after my makeup came off and sweatpants came on.
Things with us moved slowly — really slowly. Then suddenly, there was an escalation that left me with more questions than answers. I knew so much about you, as you did about me.
What you didn’t know is that I’d spent my entire life being kept at arm’s length. I feared we were heading down that path and just taking our time to get there.
I definitely wasn’t your girlfriend. We didn’t talk every day, and didn’t see each other often enough for me to think that.
You met a few of my friends who were important to me. They really liked you, and I watched as you fit right into our group of people from all walks of life and diverse backgrounds.
But I couldn’t do it anymore; I couldn’t be a phantom girlfriend who melts at your smile but has nothing to hang onto.
You were special and important to me, but I couldn’t get any closer to an indefinite nothing after months of pacing in circles.
As the “shy, nice girl,” I figured that if you liked me enough, you’d bring up the “what are we” conversation yourself. But those words were never spoken. Truthfully, I was embarrassed.
We were suspended in a foggy circle of dating purgatory, and for some reason, it infuriated me. I’m typically easy going and laid back about dating, but with you I found myself antsy and restless.
Part of this was because it had been several months of confusion, and part of this was because I made the mistake of not being bold enough to ask what was going on.
However, an undeniable part of the problem was that I was losing grasp of what had drawn me to you, and all of the things that kept me curious about your heart and your brain. It just wasn’t working for me anymore.
I did something I resent in others; I childishly allowed myself to get fed up without voicing my frustrations and I pushed myself over the edge.
I couldn’t find anything to differentiate myself from your guy friends in the final days, and I was done.
What’s funny is that I’ve always been comfortable as “one of the guys.” I pair my dresses with combat boots, I get excited about sports and beer and I’ll quote “South Park” and “Entourage” more than is probably appropriate. But with you, I felt stuck. I felt as though the flirtation was dead, and I was just a bro with eyelashes.
We were two nice, smart people who got together, and neither of us stepped up to be the bold one. If neither party at least is willing to get the courage to ask the uncomfortable and awkward, but necessary questions, the dynamic is doomed to fail.
Our metaphorical hourglass had few grains of sand to spare, regardless of what might have been, had we addressed my concerns earlier. There’s no use playing “what if”; there are only lessons to learn.
Maybe our snail’s pace involved too much anticipation and not enough action, or maybe the spark just burned out. Our energy had been off for weeks by the time our flame extinguished entirely.
The fact that our flirtationship ended doesn’t make either of us a bad person or undesirable, and it doesn’t mean we should stop being nice.
We just didn’t work for each other.
The only regret I have was not giving you an explanation — not that I had one at the time. I didn’t understand my anger or frustration, which was masking the underlying humiliation that made me feel like I wasn’t worthy of you bringing up the status of “us.”
There was never one, solitary reason; it was a culmination of things. Ultimately, we just didn’t work.
It was immature of me, but that doesn’t mean my feelings weren’t real and genuine. Ending it wasn’t an assh*le move, but the way I handled it was.
Verbal communication is so important, and for a writer, I sure was able to vocally restrain myself.
I always meant to tell you that I was sorry, but after a family emergency that changed my home life forever, I was out of sync with the outside world at a time when it would have made sense to repair the damage.
You’d been a bewildered witness to a crime scene: a robbery of closure and the truth. Under any other circumstances, we would have been able to stay friends, to reconvene and salvage some groundwork beneath the rubble.
Sometimes, sh*t happens. It’s not a slight against you or me; it’s just that it didn’t work out, romantically or otherwise.
Wherever you are in the world, I hope you find something and someone who does work out for you. We both deserve it.
Wishing you the best,
The Ghost of Flirtations Past
Things with us moved slowly — really slowly. Then suddenly, there was an escalation that left me with more questions than answers. I knew so much about you, as you did about me.
What you didn’t know is that I’d spent my entire life being kept at arm’s length. I feared we were heading down that path and just taking our time to get there.
I definitely wasn’t your girlfriend. We didn’t talk every day, and didn’t see each other often enough for me to think that.
You met a few of my friends who were important to me. They really liked you, and I watched as you fit right into our group of people from all walks of life and diverse backgrounds.
But I couldn’t do it anymore; I couldn’t be a phantom girlfriend who melts at your smile but has nothing to hang onto.
You were special and important to me, but I couldn’t get any closer to an indefinite nothing after months of pacing in circles.
As the “shy, nice girl,” I figured that if you liked me enough, you’d bring up the “what are we” conversation yourself. But those words were never spoken. Truthfully, I was embarrassed.
We were suspended in a foggy circle of dating purgatory, and for some reason, it infuriated me. I’m typically easy going and laid back about dating, but with you I found myself antsy and restless.
Part of this was because it had been several months of confusion, and part of this was because I made the mistake of not being bold enough to ask what was going on.
However, an undeniable part of the problem was that I was losing grasp of what had drawn me to you, and all of the things that kept me curious about your heart and your brain. It just wasn’t working for me anymore.
I did something I resent in others; I childishly allowed myself to get fed up without voicing my frustrations and I pushed myself over the edge.
I couldn’t find anything to differentiate myself from your guy friends in the final days, and I was done.
What’s funny is that I’ve always been comfortable as “one of the guys.” I pair my dresses with combat boots, I get excited about sports and beer and I’ll quote “South Park” and “Entourage” more than is probably appropriate. But with you, I felt stuck. I felt as though the flirtation was dead, and I was just a bro with eyelashes.
We were two nice, smart people who got together, and neither of us stepped up to be the bold one. If neither party at least is willing to get the courage to ask the uncomfortable and awkward, but necessary questions, the dynamic is doomed to fail.
Our metaphorical hourglass had few grains of sand to spare, regardless of what might have been, had we addressed my concerns earlier. There’s no use playing “what if”; there are only lessons to learn.
Maybe our snail’s pace involved too much anticipation and not enough action, or maybe the spark just burned out. Our energy had been off for weeks by the time our flame extinguished entirely.
The fact that our flirtationship ended doesn’t make either of us a bad person or undesirable, and it doesn’t mean we should stop being nice.
We just didn’t work for each other.
The only regret I have was not giving you an explanation — not that I had one at the time. I didn’t understand my anger or frustration, which was masking the underlying humiliation that made me feel like I wasn’t worthy of you bringing up the status of “us.”
There was never one, solitary reason; it was a culmination of things. Ultimately, we just didn’t work.
It was immature of me, but that doesn’t mean my feelings weren’t real and genuine. Ending it wasn’t an assh*le move, but the way I handled it was.
Verbal communication is so important, and for a writer, I sure was able to vocally restrain myself.
I always meant to tell you that I was sorry, but after a family emergency that changed my home life forever, I was out of sync with the outside world at a time when it would have made sense to repair the damage.
You’d been a bewildered witness to a crime scene: a robbery of closure and the truth. Under any other circumstances, we would have been able to stay friends, to reconvene and salvage some groundwork beneath the rubble.
Sometimes, sh*t happens. It’s not a slight against you or me; it’s just that it didn’t work out, romantically or otherwise.
Wherever you are in the world, I hope you find something and someone who does work out for you. We both deserve it.
Wishing you the best,
The Ghost of Flirtations Past
Living a life without space
Last week, my professor shared about living a life without resting is exhausting. He shared this ilustration to the class:
two next day. one day has left, and the day is come. The students collect the assignment. He wound out one of his students made a mistakes. He couldn't even read the student's stories because the student wrote the whole story without spaces. He waste lots of his time to read the story.
In this ilustration, I've learned a lot that we should have a space to avoid us from exhausted state. We probably want others to get to know that we're busy, we're have something to do, we're not a "non-job" person, and we are atractive. But all of the things are useless if we don't give our live a space.
Could you ever read a text without space?can you read it? or if you can read it, how was you feel? exhausted? wasting time?
It's happen too when we're not giving our live a space to rest. other may see that we're busy, but they found nothing from your business. Give your life a space, to hear what God's order to you and give your live a space, so you may see things that unseen
two next day. one day has left, and the day is come. The students collect the assignment. He wound out one of his students made a mistakes. He couldn't even read the student's stories because the student wrote the whole story without spaces. He waste lots of his time to read the story.
In this ilustration, I've learned a lot that we should have a space to avoid us from exhausted state. We probably want others to get to know that we're busy, we're have something to do, we're not a "non-job" person, and we are atractive. But all of the things are useless if we don't give our live a space.
Could you ever read a text without space?can you read it? or if you can read it, how was you feel? exhausted? wasting time?
It's happen too when we're not giving our live a space to rest. other may see that we're busy, but they found nothing from your business. Give your life a space, to hear what God's order to you and give your live a space, so you may see things that unseen
Subscribe to:
Posts (Atom)