Wednesday, 22 July 2015

Halo Peri Dol


“Walaupun hari ini jalan tol lagi lengang, tolong jangan ngebut Ran.” Ujarku pada Randy dengan suara yang gemetar sambil mengusap pundaknya menenangkan.

“Kita hampir terlambat, Ri. Acara pernikahan Joe sudah hampir selesai. Kamu tahu, gara-gara jemput kamu kita bisa-bisa tidak bisa menghadiri acara itu.” Bentak Randy padaku sambil menginjak pedal gasnya melaju ke tol Kebon Jeruk.

Aku tercekat. Wajahku pucat pasi. Jantungku berdebar-debar namun aku berusaha untuk berlagak biasa saja. Aku memandang Randy yang dengan santai menyetir seakan yang dilakukannya bukanlah sesuatu yang berbahaya. Jarum pada speedometer saat itu mengarah pada angka 120km/jam. Mobil yang aku tumpangi melesat dengan sangat cepat. Sungguh, saat itu aku seperti berada di samping Dom Toretto dan bukan Randy. Drive or Die, itulah yang aku ingat. Aku pasrah karena tidak mungkin bagiku untuk memintanya menurunkanku di tengah jalan tol.

Aku berupaya untuk memahaminya karena ia sempat menuturkan bahwa ia tidak rutin meminum Haloperidol (obat penenang untuk gangguan psikotik). Aku tahu, episodenya sedang dimulai. Jelas sekali tergambar dari wajah Randy yang tidak seperti biasanya, bibirnya yang kering dan keringat yang bercucuran. Saat menyetir, Randy berkali-kali berbicara dengan sangat random. Musik dalam mobil diputar sekencang-kencangnya, dan ia bernyanyi sambil berteriak.

Tiga bulan yang lalu saat liburan semester genap, Randy dan aku berhubungan sangat dekat. Ia sering curhat padaku mengenai obsesinya untuk melanjutkan studi di Harvard. Belakangan ini, intensitas Randy untuk curhat padaku meningkat. Ia tahu bahwa aku adalah seorang mahasiswa keperawatan yang sangat menyukai masalah psikologi dan kejiwaan, maka ia bermaksud untuk menceritakan hal yang ia alami. Ia beberapa malam terakhir mengalami mimpi buruk. Beberapa kali mendengar suara yang mengatakan bahwa ada orang lain yang membicarakan hal buruk tentangnya.

Gangguan mental Skizofrenia, itulah vonis yang dijatuhkan oleh dokter terhadap Randy. Skizofrenia adalah gangguan jiwa kompleks yang membuat seseorang mengalami kesulitan dalam proses berpikir. Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh Skizofrenia berupa halusinasi dan delusi, serta gejala psikotik.

Mengetahui bahwa Randy mengalami Skizofrenia, aku hanya bisa menangis dalam hati. Aku berupaya untuk dengan sangat profesional menghadapinya. Memaklumi keadaannya adalah satu-satunya cara yang membuatku tetap bertahan disampingnya. We all are a little broken, right? Then it’s okay to stay with Schizophrenic client.

“Ingat Ri, kamu adalah perawatnya Randy.” Gumamku dalam hati. Menyadari bahwa ada sebuah etika medis  yang menuliskan batasan yang jelas antara pasien dengan perawatnya membuat aku sadar bahwa kedekatanku dengannya harus memiliki batasan yang jelas pula.  Aku harus melanjutkan hidupku untuk membantu Randy agar bisa berfungsi sebagai mana mestinya. Walaupun tahu bahwa gangguan ini hanya bisa dikontrol dan bukan disembuhkan, aku yakin ia bisa melewati masa-masa sulit ini.

Beberapa kali aku mengunjungi Randy pasca kejadian di tol kebun jeruk itu. Setiap kali aku melakukan kunjungan, tatapan matanya selalu kosong. Tidak fokus. Ia berbicara singkat dan kacau. Ada banyak hal yang tersembunyi dibalik sorot matanya dan kata-kata yang random itu.

“Halo Ran.. aku datang hari ini. Bagaimana kabarmu? Sapaku pada Randy disambut keheningan. Hal yang sama berlangsung selama hampir 10 kali kunjunganku. Hingga suatu saat..

“Ran, aku pulang yah. Aku akan mengunjungimu kembali besok.” Nadaku menyerah

“Ri..” Randy pun mulai bicara. “Apakah aku semakin terlihat aneh karena penyakit ini? Apakah masih ada yang peduli terhadapku? Aku capek meminum Haloperidol, Ri. Itu membuatku lemah dan mengantuk.” Tandasnya.

Aku duduk mendekat dan membelai rambutnya. “Ran, you are still you. That illness doesn’t change who you are.” Jawabku pelan. “Even no one cares about you, remember you and I do. Obat itu akan membantu meringankan gejalamu, Ran. Bersabarlah sebentar saja..” Tangisan Randy menghentikan kata-kataku. Aku hanya bisa memeluk Randy erat. “Cause tears are words that ears can’t heard and the mouth can’t say. Menangislah Ran, tidak-apa-apa.

Setelah dari kunjungan itu, aku tidak sempat mengunjunginya lagi selama hampir 2 minggu karena jadwal penelitianku yang padat. Aku memutuskan untuk mengunjunginya usai penelitian hari ini. 

Namun, sebelum beranjak untuk pergi ke rumah Randy, aku menerima sebuah chatting darinya:
Ry, Nothing is more serious than having such this mental illness. The scariest part is realizing that I have lost myself. I can’t even cry or even care of myself. Tapi, semenjak kunjunganmu dengan kata sederhana bernama “halo”, dan setiap penyemangatanmu layaknya seorang peri tanpa sayap dengan wajahmu seperti doll (boneka) yang meenenangkan dan menyadarkanku bahwa tidak ada yang mampu mengerti dirku selain aku sendiri, aku bertekad sembuh. I know the physicians and patient’s borderline, but I still thank you for being my haloperidol. Terima kasih sudah menjadi obat penenang bagiku.
Cause mentall illness is not a choice, but recovery is. So, aku sekarang sedang mengudara menuju Sydney. Aku akan melanjutkan pengobatan disana. Doakan aku untuk bisa seperti sedia kala ya.
Sahabatmu dan yang mencintaimu.
Randy”

Begitulah aku dan Randy berakhir. Aku tetap melanjutkan kuliahku dan Randy masih di Sydney. Sekarang, aku sudah meraih gelar sarjana dan melanjutkan studiku di bidang keperawatan mental. Kabar yang aku dapatkan tentang Randy, ia sedang melanjutkan kuliahnya di Sydney sambil melanjutkan terapinya. Mendengar bahwa ia sudah bisa melakukan interaksi dengan lingkungan di sekitarnya merupakan sebuah kebahagiaan untukku. Penerimaan lingkungan sosial atas seseorang yang mengalami penyakit mental adalah hal yang berpengaruh terhadap kehidupan.


“People who have mentall illness is still a person who has thought’s and feelings just like everyone else. Accept them as who they are.”

No comments:

Post a Comment