“Walaupun hari ini jalan
tol lagi lengang, tolong jangan ngebut Ran.” Ujarku pada Randy dengan suara
yang gemetar sambil mengusap pundaknya menenangkan.
“Kita hampir terlambat,
Ri. Acara pernikahan Joe sudah hampir selesai. Kamu tahu, gara-gara jemput kamu
kita bisa-bisa tidak bisa menghadiri acara itu.” Bentak Randy padaku sambil
menginjak pedal gasnya melaju ke tol Kebon Jeruk.
Aku tercekat. Wajahku
pucat pasi. Jantungku berdebar-debar namun aku berusaha untuk berlagak biasa
saja. Aku memandang Randy yang dengan santai menyetir seakan yang dilakukannya
bukanlah sesuatu yang berbahaya. Jarum pada speedometer saat itu mengarah pada
angka 120km/jam. Mobil yang aku tumpangi melesat dengan sangat cepat. Sungguh,
saat itu aku seperti berada di samping Dom Toretto dan bukan Randy. Drive or Die, itulah yang aku ingat. Aku
pasrah karena tidak mungkin bagiku untuk memintanya menurunkanku di tengah
jalan tol.
Aku berupaya untuk
memahaminya karena ia sempat menuturkan bahwa ia tidak rutin meminum Haloperidol (obat penenang untuk gangguan psikotik). Aku tahu, episodenya sedang dimulai. Jelas sekali tergambar dari
wajah Randy yang tidak seperti biasanya, bibirnya yang kering dan keringat yang
bercucuran. Saat menyetir, Randy berkali-kali berbicara dengan sangat random. Musik dalam mobil diputar
sekencang-kencangnya, dan ia bernyanyi sambil berteriak.
Tiga bulan yang lalu saat
liburan semester genap, Randy dan aku berhubungan sangat dekat. Ia sering
curhat padaku mengenai obsesinya untuk melanjutkan studi di Harvard. Belakangan
ini, intensitas Randy untuk curhat padaku meningkat. Ia tahu bahwa aku adalah
seorang mahasiswa keperawatan yang sangat menyukai masalah psikologi dan
kejiwaan, maka ia bermaksud untuk menceritakan hal yang ia alami. Ia beberapa
malam terakhir mengalami mimpi buruk. Beberapa kali mendengar suara yang
mengatakan bahwa ada orang lain yang membicarakan hal buruk tentangnya.
Gangguan mental
Skizofrenia, itulah vonis yang dijatuhkan oleh dokter terhadap Randy. Skizofrenia
adalah gangguan jiwa kompleks yang membuat seseorang mengalami kesulitan dalam
proses berpikir. Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh Skizofrenia berupa
halusinasi dan delusi, serta gejala psikotik.
Mengetahui bahwa Randy
mengalami Skizofrenia, aku hanya bisa menangis dalam hati. Aku berupaya untuk
dengan sangat profesional menghadapinya. Memaklumi keadaannya adalah satu-satunya
cara yang membuatku tetap bertahan disampingnya. We all are a little broken,
right? Then it’s okay to stay with Schizophrenic client.
“Ingat Ri, kamu adalah
perawatnya Randy.” Gumamku dalam hati. Menyadari bahwa ada sebuah etika medis yang menuliskan batasan yang jelas antara
pasien dengan perawatnya membuat aku sadar bahwa kedekatanku dengannya harus
memiliki batasan yang jelas pula. Aku
harus melanjutkan hidupku untuk membantu Randy agar bisa berfungsi sebagai mana
mestinya. Walaupun tahu bahwa gangguan ini hanya bisa dikontrol dan bukan
disembuhkan, aku yakin ia bisa melewati masa-masa sulit ini.
Beberapa kali aku
mengunjungi Randy pasca kejadian di tol kebun jeruk itu. Setiap kali aku
melakukan kunjungan, tatapan matanya selalu kosong. Tidak fokus. Ia berbicara
singkat dan kacau. Ada banyak hal yang tersembunyi dibalik sorot matanya dan
kata-kata yang random itu.
“Halo Ran.. aku datang
hari ini. Bagaimana kabarmu? Sapaku pada Randy disambut keheningan. Hal yang
sama berlangsung selama hampir 10 kali kunjunganku. Hingga suatu saat..
“Ran, aku pulang yah. Aku
akan mengunjungimu kembali besok.” Nadaku menyerah
“Ri..” Randy pun mulai
bicara. “Apakah aku semakin terlihat aneh karena penyakit ini? Apakah masih ada
yang peduli terhadapku? Aku capek meminum Haloperidol, Ri. Itu membuatku lemah
dan mengantuk.” Tandasnya.
Aku duduk mendekat dan
membelai rambutnya. “Ran, you are still
you. That illness doesn’t change who you are.” Jawabku pelan. “Even no one
cares about you, remember you and I do. Obat itu akan membantu meringankan
gejalamu, Ran. Bersabarlah sebentar saja..” Tangisan Randy menghentikan
kata-kataku. Aku hanya bisa memeluk Randy erat. “Cause tears are words that ears can’t heard and the mouth can’t say. Menangislah
Ran, tidak-apa-apa.
Setelah dari kunjungan
itu, aku tidak sempat mengunjunginya lagi selama hampir 2 minggu karena jadwal
penelitianku yang padat. Aku memutuskan untuk mengunjunginya usai penelitian
hari ini.
Namun, sebelum beranjak untuk pergi ke rumah Randy, aku menerima
sebuah chatting darinya:
“ Ry, Nothing is more serious than having such this mental illness. The
scariest part is realizing that I have lost myself. I can’t even cry or even
care of myself. Tapi, semenjak kunjunganmu dengan kata sederhana bernama
“halo”, dan setiap penyemangatanmu layaknya seorang peri tanpa sayap dengan wajahmu seperti
doll (boneka) yang meenenangkan dan menyadarkanku bahwa tidak ada yang mampu mengerti dirku
selain aku sendiri, aku bertekad sembuh. I
know the physicians and patient’s borderline, but I still thank you for being
my haloperidol. Terima kasih sudah menjadi obat penenang bagiku.
Cause mentall illness is not a choice, but
recovery is. So, aku sekarang
sedang mengudara menuju Sydney. Aku akan melanjutkan pengobatan disana. Doakan
aku untuk bisa seperti sedia kala ya.
Sahabatmu dan yang
mencintaimu.
Randy”
Begitulah aku dan Randy
berakhir. Aku tetap melanjutkan kuliahku dan Randy masih di Sydney. Sekarang,
aku sudah meraih gelar sarjana dan melanjutkan studiku di bidang keperawatan
mental. Kabar yang aku dapatkan tentang Randy, ia sedang melanjutkan kuliahnya
di Sydney sambil melanjutkan terapinya. Mendengar bahwa ia sudah bisa melakukan
interaksi dengan lingkungan di sekitarnya merupakan sebuah kebahagiaan untukku.
Penerimaan lingkungan sosial atas seseorang yang mengalami penyakit mental
adalah hal yang berpengaruh terhadap kehidupan.
“People who have mentall illness is still a person
who has thought’s and feelings just like everyone else. Accept them as who they
are.”
No comments:
Post a Comment