Sunday, 16 November 2014

Alice, Ruth, dan Harapan Natal

Bulan yang berakhiran -ber (Septem-ber,dll) terkenal dengan musim hujan di Indonesia. Pada tahun 2014 ini, di daerah JABODETABEK sama sekali kering. Tanpa hujan, yang ada hanya matahari terik dan menyengat kulit.
Kali ini berbeda. Siang yang biasanya disertai dengan mentari terik dan menusuk kini digantikan dengan hujan yang turun sedemikian derasnya disertai dengan gemuruh guntur yang menyeramkan yang memecahkan lamunanku ketika sedang duduk di dekat jendea di lantai 2 Times Book Store. Sebagai seorang Ombrophobia, aku sangat tidak suka dengan hujan ditengah orang lain sangat menikmati hujan karena mereka bisa tidur dengan nyenyak dengan ditemani udara yang dingin. Sudahlah. Demi melupakan kalau aku adalah seorang Ombrophobia (phobia hujan), aku rela untuk duduk di tempat buku bacaan anak-anak sembari bermain Lego. Seorang anak kecil ditemani ibunya datang dan duduk di samping tempat aku duduk dan mulai memainkan tumpukan Lego yang ada dihadapanku dan membentuknya menjadi sebuah rumah. 
"Alice, sebentar lagi Natal, kamu mau kado apa dari Santa Claus, sayang?"
Alice (nama anak kecil itu) tidak menggubris pertanyaan mamanya dan hanya sibuk memainkan Legonya. 
"Kamu mau Lego sebagai kado Natal tahun ini? Nanti kita bikin permohonan" Mamanya memberikan penawaran yang sangat menarik, ujarku dalam hati.
"Mama yakin Santa mau kasiin aku kado Natal?" Nada Alice dengan setengah berbisik kepada mamanya.
"Memangnya kamu mau apa Alice?"
"Aku mau Santa kasiin kado HP buat Papa di sana. Alice sudah lama tidak telepon Papa (Alice tersenyum sambil mengacungkan telunjuk ke atas)"
Dengan setengah berkaca-kaca, Mama Alice pun menyunggingkan senyuman kecil dan memeluk Alice. Aku yang ada 3 meter dari Alice hanya bisa diam, mematung, sambil menatap Alice nanar.
Alice kemudian mencolek pundakku. Aku balas dia dengan senyuman kecil untuk mengajaknya berkenalan.
"Hai de, namanya siapa?" Sapaku sembari tersenyum dan memberi salam kepada Alice dan Ibunya
"Alice. Kakak kok main Lego?"
"Kakak menunggu hujan reda saja makanya main Lego."
"Kakak kalo Natal mau dikasih kado apa dari Santa?"
"Kakak tidak punya permohonan apa-apa"
Pembicaraan kami terus berlanjut. Aku dan Ibunya Alice berbicara banyak hal sembari Alice bermain Lego dan menunggu hujan reda. Ketika hujan reda, aku pamit kepada Alice dan Ibunya untuk pulang duluan.
Setibanya di kosan hatiku berkecamuk. Berat sekali rasanya untuk bisa tenang. Aku masih memikirkan pertanyaan-pertanyaan Alice. Mulai dari jenis kado yang aku ingin dapatkan dari Santa, kenapa tidak ada permohonan sama sekali, dan pertanyaan-pertanyaan simpel lainnya yang aku sama sekali tidak bisa menjawabnya.
Jawabku sederhana dalam hati "Papi. Aku mau Papi sebagai kado Natal untukku. Bisakah Santa meminjamkan Papi sejam saja saat malam Natal untuk bersamaku?" 
Suasana kamar pun pecah. Ketidaksanggupanku membendung rasa sedih dan kangen terhadap sosok Papi membuat sungai kecil terbentuk di pipi. Hidungku merah merona. Mataku bengkak. Aku sangat merindukan sosok Papi saat ini.
Aku tahu betapa keinginan Alice untuk mengetahui apa yang menjadi permohonanku saat Natal nanti. Aku kini mengerti apa yang dirasakan Alice ketika ditanya oleh Ibunya mengenai permohonannya ketika Natal nanti. Alice tau persis bahwa ia sedang memohonkan sesuatu yang mustahil namun ia masih tetap percaya kalau ia bisa berkomunikasi dengan Ayahnya.
Alice berstatus sama denganku, tanpa Ayah. Bedanya aku sudah besar sepeninggal Papi ke Surga, sedangkan Alice masih berusia 6 tahun sepeninggal Ayahnya ke Surga. Seorang anak kecil masih menggantungkan harapannya akan sesuatu yang tidak mungkin untuk kembali dan tetap sabar untuk menanti apa yang ia harapkan agar bisa didapati. 
Kini aku tahu apa yang akan aku minta sebagai hadiah Natal tahun ini. Aku ingin untuk tetap memiliki rasa cinta dan sayang terhadap Papi. Aku tidak mau rasa ini hilang sampai kapanpun. Aku mau untuk tetap mencintainya sampai kapanpun.

No comments:

Post a Comment