Mentari yang ditemani
sang awan putih diatas langit biru datang menyapa pagi hariku pada empat tahun
yang lalu. Tepatnya tanggal 14 Mei 2011, pada seorang guru Bahasa Indonesia membahas
mengenai apa yang menjadi cita-cita dan tujuan kami kedepannya. Mengingat dunia
perkuliahan yang sudah di depan mata, aku yang sedang duduk di kelas XII sudah
harus memutuskan kemana aku akan berkuliah dan apa yang akan aku lakukan
kedepannya.
Aku ingat persis, ketika
tiba giliranku untuk menjawab aku sempat terdiam sejenak untuk mengungkapkan
apa yang menjadi pemikiranku. Niki, teman sebelah bangku mencolek agar aku bisa
meneruskan pembicaraan. “Aku ingin melanjutkan pendidikan di dunia kesehatan
dan nantinya ingin bekerja sebagai relawan kesehatan” itu jawabku kepada sang
guru. Seketika seisi kelas pun hening. Keringat dingin mulai bercucuran dan aku
mulai berpikir alih-alih teman-temanku akan menertawakan impianku karena
terdengar aneh. Sebenarnya aku sangat takut dengan pernyataan itu, karena aku
sendiripun sebenarnya belum yakin 100% mengenai hal itu. Seorang teman dari
bangku belakang kemudian bertepuk tangan diikuti seisi kelas sebagai tanda
dukungan dari mereka.
Waktu pun bergulir, aku
kemudian melanjutkan pendidikan di bagian Keperawatan. Banyak yang menanyakan
kenapa tidak memilih dunia Kedokteran (mungkin agar terlihat kece ataupun
terlihat pintar). Bukan karena beasiswa yang kudapatkan hanya di fakultas
keperawatan saja yang membuatku terpanggil menjadi seorang perawat. Bagiku, menjadi
seorang perawat menuntut segala hal dalam hidup seseorang. Baik itu dari segi
kepintaran, kesabaran, lemah-lembut, penguasaan diri, dan kasih sayang.
Belajar menjadi seorang
perawat sungguh sangat menantang. Sebagai seorang kolerik, hal yang paling
menantang bagiku adalah sabar terhadap orang lain. Tidak hanya sabar terhadap
teman sekelas yang rese’ luarbinasa, tapi belajar sabar terhadap pasien,
keluarga pasien dan kolega di rumah sakit. Ingin rasanya teriak dan melarikan
diri. Beberapa kali juga sempat terpikir untuk berhenti dan merasa panggilan aku
bukan disini. Namun, semakin aku mencoba
untuk berhenti, semakin aku ditarik untuk menjadi seorang perawat.
Panggilan menjadi seorang
perawat aku dapatkan melalui berbagai pengalaman. Yang pertama saat praktikum
di semester empat, saat merawat seorang bapak usia lanjut yang menderita stroke
dan kanker otak. Awalnya hanya berniat untuk melakukan tindakan keperawatan
yang biasa saja, tapi entah kenapa ketika melihat bapak tersebut aku langsung
merawatnya selayaknya aku merawat papih. Walaupun pada akhirnya aku harus
merawat bapak tersebut hingga akhir hidupnya, aku belajar dari sang bapak bagaimana
berserah penuh dan dari istrinya yang sangat setia mendoakan suaminya untuk
tetap semangat.
Yang kedua, ketika sedang berada di kampung
halaman (re: Manado) pada Paskah 2014 yang lalu, aku diajak oleh teman FKPRT
untuk mengikuti baksos di sebuah desa Pisa yang terletak di pelosok kabupaten
Minahasa Tenggara. Akses transportasi ke daerah tersebut hanya bisa dilakukan
menggunakan mobil offroad dan ditempuh sekitar 5 jam dari pusat kota Manado.
Disana, tidak ada listrik sama sekali, tidak ada signal untuk telekomunikasi,
dan tidak ada tempat untuk pelayanan kesehatan. Aku dan beberapa teman yang
kuliah di dunia medis kemudian membuka pengobatan secara gratis. Banyak pasien
yang aku jumpai dan sangat menghargai keberadaan kami pada saat itu. Bahkan,
aku didoakan secara khusus oleh salah satu ibu yang aku rawat saat itu.
Sungguh, bukan hanya perawat yang bisa menyentuh hidup pasiennya, tetapi
berlaku pula hal sebaliknya.
Yang ketiga adalah masa
dimana aku praktikum di RSJ Soeharto
Herdjan. Pengalaman yang tidak terlupakan dimana aku bertemu dengan orang-orang
yang sangat membutuhkan harapan. Banyak sekali ujian iman yang aku hadapi
disana. Mulai dari dicolek-colek salah seorang pasien dengan bipolar,
diteriakin oleh seorang ibu yang menganggap aku adalah musuhnya, dan seorang
ibu yang menyatakan bahwa ia menjadi seperti ini karena merasa tidak dikasihi.
Hati saya kemudian hancur dan perlahan-lahan mulai dibentuk untuk mampu
mengasihi mereka yang membutuhkan kasih. Mereka membutuhkan kasih yang tidak
hanya dalam bentuk materi. Lebih dari itu, mereka butuh kehadiran seseorang
untuk meluangkan waktu bersama mereka.
Pengalaman-pengalaman
tersebut adalah sedikit dari beberapa pengalaman yang aku temui selama kuliah. Kini,
masa perkuliahan yang menguatkan panggilanku menjadi seorang perawat berakhir
sudah. Dunia profesi pun menanti. Masa yang tidak kalah menantang dengan masa
kuliah. Yang aku harapkan nantinya panggilanku akan semakin diperkuat.
“Jika kamu
nanti ditempatkan di rumah sakit X di pulau paling terpencil di Indonesia, bagaimana?”
tanya mamih padaku. Aku dengan singkat dan berani pun menjawab “He will sent me out, so His name would be
known.”