Wednesday, 17 June 2015

Sent me out


Mentari yang ditemani sang awan putih diatas langit biru datang menyapa pagi hariku pada empat tahun yang lalu. Tepatnya tanggal 14 Mei 2011, pada seorang guru Bahasa Indonesia membahas mengenai apa yang menjadi cita-cita dan tujuan kami kedepannya. Mengingat dunia perkuliahan yang sudah di depan mata, aku yang sedang duduk di kelas XII sudah harus memutuskan kemana aku akan berkuliah dan apa yang akan aku lakukan kedepannya.

Aku ingat persis, ketika tiba giliranku untuk menjawab aku sempat terdiam sejenak untuk mengungkapkan apa yang menjadi pemikiranku. Niki, teman sebelah bangku mencolek agar aku bisa meneruskan pembicaraan. “Aku ingin melanjutkan pendidikan di dunia kesehatan dan nantinya ingin bekerja sebagai relawan kesehatan” itu jawabku kepada sang guru. Seketika seisi kelas pun hening. Keringat dingin mulai bercucuran dan aku mulai berpikir alih-alih teman-temanku akan menertawakan impianku karena terdengar aneh. Sebenarnya aku sangat takut dengan pernyataan itu, karena aku sendiripun sebenarnya belum yakin 100% mengenai hal itu. Seorang teman dari bangku belakang kemudian bertepuk tangan diikuti seisi kelas sebagai tanda dukungan dari mereka.

Waktu pun bergulir, aku kemudian melanjutkan pendidikan di bagian Keperawatan. Banyak yang menanyakan kenapa tidak memilih dunia Kedokteran (mungkin agar terlihat kece ataupun terlihat pintar). Bukan karena beasiswa yang kudapatkan hanya di fakultas keperawatan saja yang membuatku terpanggil menjadi seorang perawat. Bagiku, menjadi seorang perawat menuntut segala hal dalam hidup seseorang. Baik itu dari segi kepintaran, kesabaran, lemah-lembut, penguasaan diri, dan kasih sayang.

Belajar menjadi seorang perawat sungguh sangat menantang. Sebagai seorang kolerik, hal yang paling menantang bagiku adalah sabar terhadap orang lain. Tidak hanya sabar terhadap teman sekelas yang rese’ luarbinasa, tapi belajar sabar terhadap pasien, keluarga pasien dan kolega di rumah sakit. Ingin rasanya teriak dan melarikan diri. Beberapa kali juga sempat terpikir untuk berhenti dan merasa panggilan aku bukan disini.  Namun, semakin aku mencoba untuk berhenti, semakin aku ditarik untuk menjadi seorang perawat.

Panggilan menjadi seorang perawat aku dapatkan melalui berbagai pengalaman. Yang pertama saat praktikum di semester empat, saat merawat seorang bapak usia lanjut yang menderita stroke dan kanker otak. Awalnya hanya berniat untuk melakukan tindakan keperawatan yang biasa saja, tapi entah kenapa ketika melihat bapak tersebut aku langsung merawatnya selayaknya aku merawat papih. Walaupun pada akhirnya aku harus merawat bapak tersebut hingga akhir hidupnya, aku belajar dari sang bapak bagaimana berserah penuh dan dari istrinya yang sangat setia mendoakan suaminya untuk tetap semangat.

 Yang kedua, ketika sedang berada di kampung halaman (re: Manado) pada Paskah 2014 yang lalu, aku diajak oleh teman FKPRT untuk mengikuti baksos di sebuah desa Pisa yang terletak di pelosok kabupaten Minahasa Tenggara. Akses transportasi ke daerah tersebut hanya bisa dilakukan menggunakan mobil offroad dan ditempuh sekitar 5 jam dari pusat kota Manado. Disana, tidak ada listrik sama sekali, tidak ada signal untuk telekomunikasi, dan tidak ada tempat untuk pelayanan kesehatan. Aku dan beberapa teman yang kuliah di dunia medis kemudian membuka pengobatan secara gratis. Banyak pasien yang aku jumpai dan sangat menghargai keberadaan kami pada saat itu. Bahkan, aku didoakan secara khusus oleh salah satu ibu yang aku rawat saat itu. Sungguh, bukan hanya perawat yang bisa menyentuh hidup pasiennya, tetapi berlaku pula hal sebaliknya.

Yang ketiga adalah masa dimana aku  praktikum di RSJ Soeharto Herdjan. Pengalaman yang tidak terlupakan dimana aku bertemu dengan orang-orang yang sangat membutuhkan harapan. Banyak sekali ujian iman yang aku hadapi disana. Mulai dari dicolek-colek salah seorang pasien dengan bipolar, diteriakin oleh seorang ibu yang menganggap aku adalah musuhnya, dan seorang ibu yang menyatakan bahwa ia menjadi seperti ini karena merasa tidak dikasihi. Hati saya kemudian hancur dan perlahan-lahan mulai dibentuk untuk mampu mengasihi mereka yang membutuhkan kasih. Mereka membutuhkan kasih yang tidak hanya dalam bentuk materi. Lebih dari itu, mereka butuh kehadiran seseorang untuk meluangkan waktu bersama mereka.

Pengalaman-pengalaman tersebut adalah sedikit dari beberapa pengalaman yang aku temui selama kuliah. Kini, masa perkuliahan yang menguatkan panggilanku menjadi seorang perawat berakhir sudah. Dunia profesi pun menanti. Masa yang tidak kalah menantang dengan masa kuliah. Yang aku harapkan nantinya panggilanku akan semakin diperkuat.

 “Jika kamu nanti ditempatkan di rumah sakit X di pulau paling terpencil di Indonesia, bagaimana?” tanya mamih padaku. Aku dengan singkat dan berani pun menjawab “He will sent me out, so His name would be known.”


Wednesday, 3 June 2015

Jangan salahkan perasaan

Jangan salahkan perasaan..

Jika tiba-tiba menyayangi dia yang bukan milikmu
Yang menjadi cemburu walaupun bukan hakmu untuk merasakan hal itu
Jika tiba-tiba gembira walau hanya mendapatkan sebuah pesan singkat darinya yang bertuliskan "apa kabar?"
Yang menjadi gelisah ketika tidak mendengar kabar darinya 


Karena perasaan hanya timbul
Terhadap seseorang yang membuatnya nyaman
Yang membuat dirinya merasa aman
Yang menghargai keberadaan dirinya.


Namun jangan salahkan jika perasaan lenyap
Ketika ia menyadari bahwa usahanya tidak lagi dihargai

Labuhan hati

Matahari tahu tempat dimana ia akan terbenam
Bulan tahu kapan ia harus bersinar
Bayi dalam kandungan pun tahu kapan ia harus segera keluar
Begitu pula dengan hati..

Hati tahu kapan ia merasa sayang
Hati tahu kapan ia merasa tersakiti
Hati tahu kapan ia membohongi diri sendiri
Hati tahu kapan ia tulus

Hati pun tahu siapa yang ia cintai
Walaupun berkali tersakiti dan membohongi diri sendiri
Hati tetap tulus mencintai
Karena yang hati tahu kepada siapa dia akan berlabuh
Labuhan hati ini
adalah kamu.